24 September 2015

“Podo Nonton” Gandrung Sewu Digelar Sabtu Depan

Banyuwangi kembali menggelar pertunjukkan kolosal, Gandrung Sewu. Seribu lebih Gandrung akan menari di bibir Pantai Boom saat sunset menjelang pada Sabtu mendatang 26 September.

Tarian khas daerah yang ditetapkan sebagai  warisan ‘budaya tak benda’ oleh Kementrian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah ini akan dibawakan 1200 penari di pinggir pantai dengan latar pemandangan selat bali yang menawan.  Tahun ini gelaran Gandrung Sewu yang mengangkat tema “Podo Nonton” akan melibatkan artis nasional, Denada.
Event budaya yang digelar tiap tahun ini memperkuat positioning wisata budaya yang menjadi unggulan Banyuwangi selain wisata alam. Beberapa tahun ini Banyuwangi memang konsisten mengangkat seni dan budaya sebagai bagian dari pengembangan wisata. Sebut saja Festival Kebo-keboan Alas Malang dan Seblang Oleh Sari yang merupakan tradisi masyarakat lokal dimasukkan  ke dalam rangkaian even tahunan, Banyuwangi Festival.
“Kami bangga memiliki beragam seni dan budaya lokal yang sangat khas. Kami pun ingin seni dan budaya ini dapat dikenal secara luas dan ikut memperkuat khasanah budaya Banyuwangi di tingkat nasional dan internasionbal,” kata Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.
Event Gandrung Sewu, sambung Anas, juga memperkuat posisi Banyuwangi dalam peta persaingan pariwisata di Indonesia. ”Pantai menjadi salah satu destinasi wisata alam di Banyuwangi. Dengan event ini, berarti kami menjual event sekaligus destinasi alam. Sewu Gandrung terbukti telah menjadi daya tarik pariwisata Banyuwangi,” jelas Anas.
Sementara itu Plt Kepala Dinas Pariwisata M Y. Bramuda menjelaskan tarian Gandrung sendiri terdiri atas tiga segmen yaitu Jejer Gandrung, Paju Gandrung, dan ditutup dengan Seblang Subuh. “Podo nonton atau bahasa Indonesianya nonton bareng-bareng, merupakan salah satu bagian dari pertunjukan Jejer Gandrung," kata Bramuda.
“Podo Nonton” sejatinya merupakan tembang wajib yang menjadi musik pengiring pada saat pertunjukkan Jejer Gandrung. Tema ini diangkat karena syairnya mengandung makna heroisme dan perjuangan yang sangat berat dari para pendahulu di Bumi Blambangan ketika melawan penjajahan Belanda.
“Tema Podo Nonton pun akan dikisahkan dalam sebuah drama teatrikal yang sarat pesan,” ujarnya.  Dalam pertunjukkan Gandrung sendiri sebenarnya ada banyak tembang yang dinyanyikan selain Podo Nonton. Seperti Sekar Jenar, Layar Kumendung, Keok-Keok, Jaran Dawuk.
Dalam teatrikal nanti, akan diadegankan kondisi Banyuwangi sekitar tahun 1771 yang subur dan makmur. Tiba-tiba Belanda datang dan memporak-porandakan desa dan hasil tani milik rakyat . “Nanti akan ada visual paglak yang dirusak, hasil tani dan perkebunan yang dirampas,” cetus Bram.
Dalam kondisi yang tertindas tersebut, para petani bangkit dan melakukan perlawan terhadap kesewenang-wenangan tersebut. Hingga akhirnya pecahlah perang awal antara penduduk pribumi dan kolonial. Di masa peperangan tersebut lalu muncul tokoh-tokoh yang menjadi motor penggerak perlawanan terhadap penjajah yakni tokoh Rempeg Jogopati dan Sayuwiwit.
"Denada nanti yang memerankan Sayu wiwit. Bersama Jogopati, akan berperan jadi pemimpin perang puputan dimana dikisahkan heroisme para pejuang Banyuwangi yang sampai titik darah penghabisan tidak gentar memberikan perlawanan terhadap Belanda," tutur Bramuda.
"Podo Nonton diangkat sengaja untuk mengingatkan masyarakat akan perjuangan para pendahulu kita di masa lalu. Bagaimana dulu perjuangan penduduk Banyuwangi yang awalnya puluhan ribu, karena perang berkurang menjadi hanya ribuan. Meyakinkan kita, asal dengan niat dan perjuangan yang tulus penderitaan awal akan melahirkan kesejahteraan yang kini kita nikmati semua,” pungkas Bramuda. (Humas Protokol)

Tidak ada komentar: