Banyuwangi kembali menggelar pertunjukkan kolosal, Gandrung Sewu. Seribu lebih Gandrung akan menari di bibir Pantai Boom saat sunset menjelang pada Sabtu mendatang 26 September.
Tarian khas daerah yang ditetapkan sebagai warisan ‘budaya tak
benda’ oleh Kementrian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah ini
akan dibawakan 1200 penari di pinggir pantai dengan latar pemandangan
selat bali yang menawan. Tahun ini gelaran Gandrung Sewu yang
mengangkat tema “Podo Nonton” akan melibatkan artis nasional, Denada.
Event budaya yang digelar tiap tahun ini memperkuat positioning
wisata budaya yang menjadi unggulan Banyuwangi selain wisata alam.
Beberapa tahun ini Banyuwangi memang konsisten mengangkat seni dan
budaya sebagai bagian dari pengembangan wisata. Sebut saja Festival
Kebo-keboan Alas Malang dan Seblang Oleh Sari yang merupakan tradisi
masyarakat lokal dimasukkan ke dalam rangkaian even tahunan, Banyuwangi
Festival.
“Kami bangga memiliki beragam seni dan budaya lokal yang sangat khas.
Kami pun ingin seni dan budaya ini dapat dikenal secara luas dan ikut
memperkuat khasanah budaya Banyuwangi di tingkat nasional dan
internasionbal,” kata Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.
Event Gandrung Sewu, sambung Anas, juga memperkuat posisi Banyuwangi
dalam peta persaingan pariwisata di Indonesia. ”Pantai menjadi salah
satu destinasi wisata alam di Banyuwangi. Dengan event ini, berarti kami
menjual event sekaligus destinasi alam. Sewu Gandrung terbukti telah
menjadi daya tarik pariwisata Banyuwangi,” jelas Anas.
Sementara itu Plt Kepala Dinas Pariwisata M Y. Bramuda menjelaskan
tarian Gandrung sendiri terdiri atas tiga segmen yaitu Jejer Gandrung,
Paju Gandrung, dan ditutup dengan Seblang Subuh. “Podo nonton atau
bahasa Indonesianya nonton bareng-bareng, merupakan salah satu bagian
dari pertunjukan Jejer Gandrung," kata Bramuda.
“Podo Nonton” sejatinya merupakan tembang wajib yang menjadi musik
pengiring pada saat pertunjukkan Jejer Gandrung. Tema ini diangkat
karena syairnya mengandung makna heroisme dan perjuangan yang sangat
berat dari para pendahulu di Bumi Blambangan ketika melawan penjajahan
Belanda.
“Tema Podo Nonton pun akan dikisahkan dalam sebuah drama teatrikal
yang sarat pesan,” ujarnya. Dalam pertunjukkan Gandrung sendiri
sebenarnya ada banyak tembang yang dinyanyikan selain Podo Nonton.
Seperti Sekar Jenar, Layar Kumendung, Keok-Keok, Jaran Dawuk.
Dalam teatrikal nanti, akan diadegankan kondisi Banyuwangi sekitar
tahun 1771 yang subur dan makmur. Tiba-tiba Belanda datang dan
memporak-porandakan desa dan hasil tani milik rakyat . “Nanti akan ada
visual paglak yang dirusak, hasil tani dan perkebunan yang dirampas,”
cetus Bram.
Dalam kondisi yang tertindas tersebut, para petani bangkit dan
melakukan perlawan terhadap kesewenang-wenangan tersebut. Hingga
akhirnya pecahlah perang awal antara penduduk pribumi dan kolonial. Di
masa peperangan tersebut lalu muncul tokoh-tokoh yang menjadi motor
penggerak perlawanan terhadap penjajah yakni tokoh Rempeg Jogopati dan
Sayuwiwit.
"Denada nanti yang memerankan Sayu wiwit. Bersama Jogopati, akan
berperan jadi pemimpin perang puputan dimana dikisahkan heroisme para
pejuang Banyuwangi yang sampai titik darah penghabisan tidak gentar
memberikan perlawanan terhadap Belanda," tutur Bramuda.
"Podo Nonton diangkat sengaja untuk mengingatkan masyarakat akan
perjuangan para pendahulu kita di masa lalu. Bagaimana dulu perjuangan
penduduk Banyuwangi yang awalnya puluhan ribu, karena perang berkurang
menjadi hanya ribuan. Meyakinkan kita, asal dengan niat dan perjuangan
yang tulus penderitaan awal akan melahirkan kesejahteraan yang kini kita
nikmati semua,” pungkas Bramuda. (Humas Protokol)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar