Tumpeng Sewu adalah selamatan massal
yang digelar setiap satu Dzulhijah oleh masyarakat kemiren. Tujuannya,
bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keberkahanan yang mereka
terima.
Tumpeng sewu diyakini merupakan
selamatan tolak bala dan menghindarkan dari segala bencana dan sumber
penyakit. “Kalau ritual itu ditinggalkan, maka akan berdampak buruk
kepada masyarakat Desa Kemiren, sehingga warga Osing menjaga tradisi itu
hingga turun temurun,” kata Timbul, Sesepuh adat Desa Kemiren Juhadi
Timbul.
Ritual tumpeng sewu ini ditandai dengan
kegiatan dimana setiap rumah membuat nasi dalam bentuk kerucut dengan
lauk pauk khas Using, yakni pecel pithik (ayam panggang dicampur kelapa,
red) ditaruh di depan rumah.
Bentuk mengerucut ini memiliki makna
khusus yakni petunjuk untuk mengabdi pada sang pencipta (hablum
minallah) di samping kewajiban untuk menyayangi sesama (hablum
minannaas). Sementara pecel pithik itu mengandung pesan moral yang
bagus, yakni ngucel-ucel barang sithik. Dapat juga diartikan mengajak
orang berhemat dan merasa cukup dengan harta yang dimiliki meskipun
sedikit.
Dengan diterangi oncor ajug-ajug
(obor bambu berkaki empat), tumpeng sewu ini menjadi sebuah ritual yang
khas dan tetap sakral. Sebelum makan bersama, warga desa Kemiren
mengawalinya sholat maghrib berjamaah dan doa bersama. Usai makan
bersama, selepas isya’, warga membaca Lontar Yusuf hingga tengah malam
di rumah salah seorang tokoh masyarakat setempat. Lontar Yusuf yang
merupakan rangkaian dari ritual ini menceritakan perjalanan hidup Nabi
Yusuf.
Selain tumpeng sewu, untuk mewujudkan rasa syukur ini warga desa melakukan ritual menjemur kasur (mepe kasur)
secara masal. Uniknya, semua kasur yang dijemur berwarna hitam dan
merah. Menurut Timbul, warna merah dibagian samping ini melambangkan
keberanian dan warna hitam di bagian atas kasur ini mengandung arti
langgeng atau utuh. “”Sebuah rumah tangga di Kemiren harus berani
menegakkan kebenaran dan keutuhan,” kata Timbul.
Proses mepe kasur ini lakukan pagi hari,
yakni begitu matahari terbit seluruh warga bergegas mengeluarkan kasur
ke depan rumah masing-masing, sambil membaca doa dan memercikkan air
bunga di halaman. Tujuannya agar dijauhkan dari balak dan penyakit.
Setelah matahari melewati ubun-ubun, semua kasur harus dientas atau
dimasukkan. Konon jika tidak segera dimasukkan kebersihan kasur ini
hilang. Masyarakat Kemiren meyakini tradisi ini Warga Using beranggapan
bahwa sumber penyakit datangnya dari tempat tidur, sehingga mereka
menjemur kasur di halaman rumah masing – masing agar terhindar dari
segala jenis penyakit.
Sebagai penutup mepe kasur ini sore
harinya digelar arak-arakan barong. Menjelang selamatan tumpeng sewu,
masyarakat Kemiren melakukan selamatan di makam Buyut Cili. Buyut cili
adalah salah satu tokoh yang masyarakat oleh para pawang dan pemangku
baru tua. (Humas Protokol)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar