23 November 2014

BEC 2014“THE MISTIC DANCE OF SEBLANG”

Pagelaran Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) 2014 berlangsung dengan megah dan meriah. Karnaval etnik yang tahun ini bertema 'The Mystic Dance of Seblang Banyuwangi', menyuguhkan parade kostum tradisi Seblang yang dikreasikan secara unik dan luar biasa. Agenda rutin dalam Banyuwangi festival ini  dibuka langsung Menteri Pariwisata, Arief Yahya
.
Video= https://www.youtube.com/watch?v=cHaYLBgG1Fc&list=UUepNWDWf_cjykU8PXZbbFwg
Tradisi Seblang merupakan sebuah tarian ritual asli Suku Using paling tua di Banyuwangi. Tari ini dimaksudkan sebagai usaha memperoleh ketenteraman, keselamatan, dan kesuburan tanah agar hasil panen melimpah. Ritual ini ditarikan seorang penari dalam kondisi trance, kondisi tak sadarkan diri, sebagai penghubung warga desa dengan arwah leluhurnya.
"Saat daerah lain ingin menampilkan budaya asing, dengan bangga Banyuwangi menampilkan kekayaan budaya lokal. Inilah yang membedakan BEC dengan karnaval lainnya. Kita ingin terus menjaga budaya daerah dan mengangkatnya ke kancah dunia," ujar Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, saat memberi sambutan selamat datang di depan para undangan, di Taman Blambangan Sabtu (22/11/2014).
Parade BEC, diawali penampilan kelompok musik drumband milik Pemkab Banyuwangi, yang dilanjutkan dengan penampilan Masterpiece BEC 4 2014, “The Queen Of Seblang”.  Masterpiece ini menampilkan seorang putri yang mengenakan pakaian kebesarannya gaun indah dengan ekor sepanjang 300 meter . Dua orang pengawal dan  150 penari Gandrung  mengiringi sekaligus membawa gaun panjang tersebut di hadapan para tamu undangan.
Kemudian, pegelaran dilanjutkan  dengan penampilan 200 penari Seblang yang menarikan goyangan khas Seblang yang menjatuhkan kepala ke kiri dan ke kanan dan gerakan gemulai tangan ke atas dan kebawah. Usai menari ratusan Seblang ini duduk disisi sepanjang catwalk mengawal prosesi terjadinya Seblang hinggamengalami trance atau kerasukan. Meski dimainkan secara teatrikal, namun penampilan para aktor yang menceritakan sejarah munculnya Seblang hingga proses masuknya ruh ke dalam raga Seblang  mampu membangkitkan nuansa mistis yang kental.
Usai prosesi tersebut, dimulailah penampilan Devile BEC 2014 yang diawali oleh BEC cilik sebanyak 48 anak. Dilanjutkan dengan penampilan peserta tema Seblang Olehsari, sebanyak 33 orang. Pada tema ini kostum dominan nuansa hijau yang dikreasikan secara menarik dengan kreasi hiasan payung. Lalu disusul tema kedua Seblang Bakungan, yang dibawakan  67 peserta dengan dominan warna merah .   Dan pada tema Porobungkil ditampilkan 35 peserta yang menampilkan visualisasi kreatif aneka buah-buahan dan aneka palawija yang dikreasikan dalam kostum yang unik.
Selain kedatangan Menteri Pariwisata, Arif Yahya yang membuka pagelaran BEC 4, Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa dan Duta Besar AS Robert O Blake dan Yenny Wahid juga hadir di event tahunan ini. Selain itu, terlihat juga beberapa artis ibukota, seperti Abdee Slank, Paramitha Rusadi, Ayu Azhari, Yati Octavia dan Pangky Suwito.
Selanjutnya parade devile BEC 2014 ditutup dengan penampilan parade barong nusantara dan Kemanten Using Banyuwangi yang menjadi tema BEC 2015 mendatang. Sebelumnya, sebagai pembuka acara,  para tamu undangan sempat dihibur oleh penyanyi kondang Banyuwangi Wandra dan Suliyana.  Keduanya membawakan lagu hits masing-masing dan juga berduet. (Humas Protokol)

02 November 2014

Acara ritual kebo-keboan di Dusun Sukodono Desa Aliyan

Acara ritual kebo-keboan di Dusun Sukodono Desa Aliyan Kecamatan Rogojampi berlangsung meriah. Festival Kebo-keboan digelar di Kabupaten Banyuwangi, Minggu (2/10). Festival ini menandakan budaya agraris yang kental di Banyuwangi. Selama ini, Banyuwangi dikenal sebagai salah satu lumbung padi Jatim di mana kabupaten itu selalu mengalami surplus sekitar 250.000 ton beras setiap tahunnya.
Kebo-keboan adalah sebuah ritual masyarakat lokal, di mana sejumlah orang didandani seperti kerbau dan seluruh tubuhnya dilumuri jelaga hitam. Kebo dalam bahasa setempat berarti kerbau.
Ritual ini adalah bentuk tradisi permohonan kepada Tuhan agar sawah masyarakat subur dan panen berlangsung sukses. Dalam ritus itu, sejumlah orang didandani seperti kerbau yang merupakan simbolisasi mitra petani di sawah untuk menghalau malapetaka selama musim tanam hingga panen.
”Kebo-keboan sejak lama telah menjadi bagian dari hidup dan kehidupan masyarakat lokal Banyuwangi. Kerbau bukan ternak pada umumnya yang dikonsumsi dagingnya. Tapi kerbau adalah mitra petani untuk menggarap sawah dan berupaya mendapatkan kemakmuran,” tutur Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas saat menghadiri Festival Kebo-keboan.
Di Banyuwangi, kebo-keboan digelar di dua tempat dalam satu hari yang sama, yaitu Desa Aliyan dan Desa Alas Malang. Konon, ritual Kebo-keboan yang digelar setiap 10 Muharram itu muncul sekitar abad ke-18 Masehi. Saat itu, masyarakat setempat dilanda pageblug (wabah). Salah seorang sesepuh desa saat itu, Buyut Karti, pun melakukan ritual selamatan dan menganjurkan warga desa membajak sawah menggunakan kerbau. Dan pageblug pun hilang.
Ritual kebo-keboan ini diawali dengan kenduri desa yang digelar sehari sebelumnya. Warga bergotong royong mendirikan sejumlah gapura dari janur yang digantungi hasil bumi di sepanjang jalan desa sebagai perlambang kesuburan dan kesejahteraan.
Esok paginya, warga pun menggelar selamatan di empat penjuru desa, yang dilanjutkan dengan ider bumi. Para petani yang didandani kerbau lalu berkeliling desa mengikuti empat penjuru mata angin. Saat berkeliling desa inilah, para "kerbau" itu melakukan ritual layaknya siklus bercocok tanam, mulai dari membajak sawah, mengairi, hingga menabur benih padi.
Para petani itu diyakini kerasukan roh gaib. Mereka berjalan seperti kerbau yang sedang membajak sawah. Mereka juga berkubang, bergumul di lumpur, dan bergulung-gulung di sepannjang jalan yang dilewati. Saat berjalan pun di pundak mereka terpasang peralatan membajak. Persis kerbau!
Atraksi ritual kebo-keboan ini sangat menarik warga. Bukan sekadar melihat atraksi, sejumlah warga yang datang ke lokasi untuk mendapatkan berkah dari benih padi yang sengaja ditebarkan.
Seperti yang dilakukan Mbah Sapurat (56 tahun) yang saat itu berebut benih padi di Desa Aliyan yang tercecer di jalan meski harus berjuang melawan “kerbau”. “Tiap tahun saya pasti ikut berebut benih padi yang ditebar di acara ini untuk saya tanam lagi di sawah. Dan Alhamdulillah, panen saya pun hasilnya juga bagus dan melimpah,” ujar  Sapurat.
Tradisi Kebo-keboan sejak tahun 2014 ini telah masuk dalam agenda Banyuwangi Festival yang merupakan agenda pariwisata daerah yang berisi beragam acara wisata. “Dengan masuk Banyuwangi Festival, secara tidak langsung memaksa kami untuk bisa menampilkan suatu atraksi budaya lokal yang berkelas. Misal dengan perbaikan manajemen acara. Ini sebagai upaya  kami agar budaya lokal terus membumi, selain tentunya rakyat pun bisa bangga,” pungkas Anas.
Festival Kebo-keboan, imbuh Plt Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Yanuar Bramuda, juga menjadi bentuk pelestarian budaya agraris masyarakat. "Di Banyuwangi banyak model agrotourism yang memadukan pertanian dan wisata. Misalnya, wisatawan bisa meminta paket wisata ikut menanam padi di sawah, atau ikut melihat pemetikan kopi hingga cara menggorengnya," pungkas Bramuda. (Humas Protokol)

Ki Anom Suroto Puaskan Pecinta Wayang Kulit Banyuwangi Hingga Pagi

Ribuan masyarakat pecinta seni wayang kulit, tadi malam Sabtu (1/11) memadati lapangan Bima Sakti, Desa Kedungasri, Kecamatan Tegaldlimo. Kehadiran ribuan ini untuk menyaksikan aksi dalang kondang Ki Anom Suroto, yang diundang khusus pemkab Bayuwangi menyemarakkan Banyuwangi Festival 2014.
Pesona dalang yang membawakan lakon  Amartha Binangun memang luar biasa. Sejak sore hari lapangan Bima Sakti sudah dipenuhi penonton, padahal gelaran wayang baru dimulai pukul 21.30 Wib. Sambil menggelar tikar, Sariman yang datang membawa serta anak cucunya mengaku rela berangkat sore agar bisa mendapat tempat duduk yang strategis. “Selama ini saya hanya bisa menyaksikan Ki Anom lewat televisi, sekarang bisa langsung makanya saya berangkat sore hari,” kata Sariman.
Ki Anom bermain sangat bagus, lakon yang mengkisahkan Ksatria Pandawa Lima membangun kerajaan baru di hutan tandus ini yang penuh  rintangan. Kisah ini diawali dengan penderitaan pendawa sepeninggal ayahnya, Pandu Dewanata, pendawa menuntut hak atas kerajaan kepada penguasa Hastina yang saat itu dikuasai pamannya sendiri, Prabu Destarata. Lewat rapat kerajaan pendawa dititahkan membabat hutan baru untuk mendirikan kerajaan. Dalam perjalanan menuju Amarta, mereka menemui banyak kendala dan aral melintang, Disinilah permainan yang paling seru disuguhkan Ki Anom yang mengajak duet putranya sendiri Ki Bayu Aji untuk ikut memainkan panggung malam itu. Akhir kisah pendawa bisa mendirikan kerajaan yang besar dan sejahtera.
Selain Bayu Aji, Ki Anom juga membawa Cak Dikin dan Nyimut Dikin serta Pentol untuk mengisi limbuk’an dan goro-goro. Benar sekali kemunculan para dagelan kondang ini mampu mengkocok penonton hingga pagi hari. Bahkan, Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas dan Wabup Yusuf Widiyatmoko, beserta isteri yang membuka gelaran wayang kulit ini baru meninggalkan lokasi setelah limbuk'an.
“Gelaran wayang kulit ini tidak hanya melestarikan kesenian khas jawa. Lebih jauh dari itu permainan wayang kulit ini mengandung filosofi dan makna yang dalam dari setiap lakon yang mainkan dalang,” kata Bupati Anas.
Sebelum Ki Anom Suroto, panggung ini telah diramaikan dengan suguhan parade dalang cilik, Jum’at malam (31/10). Ada delapan dalang cilik dengan usia 12 hingga 29 tahun bermain disini. Mereka bermain dengan bermacam-macam lakon, diantaranya Adon-adon Romojolo yang dimainkan ki Wawuh Tri Gonggo dari Bangorejo dan Gatot Kaca Lahir, oleh Raka Ditho Jihan Firmansa dalang usia 12 tahun. (Humas Protokol)