Ratusan warga tampak bersemangat mengikuti napak
tilas perang Puputan Bayu di Desa Bayu, Kecamatan Songgon, Minggu pagi
(13/12). Napak tilas yang digelar untuk memperingati hari jadi
Banyuwangi itu terlihat berbeda dari peringatan sebelumnya. Jika
sebelumnya mereka hanya sekedar berjalan menyusuri rute yang dilalui
oleh pejuang Blambangan dalam Perang Puputan Bayu, kali ini diikuti
dengan arak-arakan pusaka perang puputan.
Tak hanya pusaka, sebuah tumpeng raksasa juga diarak. Tumpeng raksasa
yang berisi hasil bumi itu diusung dan dikirab mulai dari Pasar Songgon
hingga Wana Wisata Rowo Bayu yang berjarak kurang lebih 3 kilometer.
Menurut Kepala Desa Bayu, Sugito, diaraknya pusaka perang Puputan
Bayu untuk pertama kalinya ini bertujuan untuk melestarikan pusaka
warisan leluhur yang ada di desanya. “Dengan begitu masyarakat jadi tahu
pusaka warisan leluhurnya. Pusaka yang jumlahnya ratusan itu kami kirab
menuju petilasan Prabu Tawang Alun,”ujar Sugito.
Di petilasan Prabu Tawang Alun yang lokasinya di kawasan wana wisata
Rowo Bayu, pusaka berupa keris dan tombak tersebut dimandikan air bunga,
lalu kembali disimpan dalam peti senjata.
Napak tilas itu juga dimeriahkan dengan digelarnya drama kolosal
perang Puputan Bayu yang diperankan oleh warga Desa Bayu. Dijelaskan
oleh Ketua Panitia Napak Tilas, Taufid (50), drama kolosal itu sengaja
digelar untuk mengajak masyarakat mengingat dan merenungkan sejarah yang
terjadi pada 1771 – 1772.
“Itu perang besar dan tercatat sebagai perang paling kejam yang
menewaskan banyak korban. Saat itu, rakyat Blambangan yang tidak rela
tanahnya diinjak-injak penjajah, berusaha mempertahankan wilayahnya
sekuat tenaga dengan berbekal pedang, tombak dan keris. Lewat fragmen
ini, anak-anak jadi tahu betapa dahsyatnya perang Puputan Bayu yang
terjadi disini,” pungkas Taufid. (Humas & Protokol)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar