Pemkab Banyuwangi terus berupaya
memperhatikan keberadaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang ada
di Banyuwangi. Sebab dari UMKM-lah tercipta lapangan kerja baru yang ke
depan akan menumbuhkan ekonomi kerakyatan. Untuk menunjukkan
perhatiannya kepada UMKM, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Senin
sore (5/10) mengunjungi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang ada
di Kecamatan Genteng, Banyuwangi.
Selain melihat langsung pembuatan konveksi dan bordir di Dusun
Canga'an, Desa Genteng Wetan, Bupati Anas juga berkunjung ke industri
pembuatan songkok di Dusun Tebuan, Desa Kembiritan.
Saat melihat proses pembuatan bordir di tempat usaha milik Nur Kholis
Khumaidi, Bupati Anas sempat terkesima. Meski tempatnya berada di
pinggiran kota, ternyata teknologi yang digunakan sudah sedemikian
modern. Nur Kholis menggunakan mesin bordir digital yang sekali bordir
bisa langsung
membuat 18 bordiran. Untuk membordir dengan motif tertentu, Nur Kholis
tinggal menggambar desainnya lewat komputer. Kemudian desain tersebut
dipindahkan ke flashdisk dan dikoneksikan dengan alat tersebut.Begitu
terbaca oleh alat tersebut, mesin siap membordir sesuai desain yang
diinginkan.
"Hebat ya. Padahal lokasinya jauh dari kota, tapi bapak nggak kalah canggih," kata bupati memuji.
Di depan bupati, Nur Kholis menceritakan, usaha yang dirintisnya ini
tidak serta merta maju seperti sekarang. "Saya memulai konveksi sejak
tahun 1985, sedangkan bordir baru dimulai pada 2012," kata Nur Kholis.
Namun diakuinya, dibanding konveksi, usaha bordirnya jauh lebih
maju."Konveksi baru ramai
kalau tahun ajaran baru, dimana banyak pemesanan seragam sekolah. Atau
menjelang puasa, banyak pesanan baju takwa yang hiasan bordirnya
sekaligus kami kerjakan sendiri," tuturnya.
Nur Kholis yang punya 18 karyawan tersebut mampu memproduksi 2000
potong per bulan, dengan omzet Rp 10 juta per bulannya. Naiknya dolar
yang juga otomatis membuat harga bahan baku naik, membuat Nur
Kholis harus menyiasati produksinya. "Tadinya kami ambil bahan bakunya
di Surabaya, tapi naiknya dolar membuat kami mencari bahan bakunya di
lokal Banyuwangi saja. Tapi kami jamin kualitas tetap sama," tandas
pengusaha yang pasokannya memenuhi pasar lokal dan Bali itu.
Kunjungan bupati kemudian berlanjut ke home industry songkok milik Muhammad Ali Gufron. Ali
Gufron sebelumnya pernah mencoba bikin usaha baju dan gorden. Dirasa
kurang sukses, di tahun 2006, Ali mencoba beralih ke usaha pembuatan
songkok. Saat ini Ali mampu mengirim hingga Surabaya, Jakarta, Tangerang
dan Kalimantan.
Per minggunya, Ali yang memiliki 70 pegawai mampu menghasilkan 6000
pieces songkok. Praktis dalam sebulan ada 24.000 pieces yang
dihasilkannya dengan omzet Rp 60 juta per bulan. Pesanan ramai saat
menjelang lebaran dan musim haji. Di bulan lain saat sepi, Ali
menggunakannya untuk menyetok barang.
Sama seperti Nur Kholis, naiknya dolar membuat Ali harus memutar
otak, bagaimana usahanya tetap berjalan, namun juga tetap dapat
menghidupi karyawannya. "Saya terpaksa menurunkan jumlah produksi
songkok ini. Tadinya sebelum dolar naik, kami mampu memproduksi 10.000
pieces per minggunya. Setelah dolar naik, produksi kami turunkan menjadi
6000 pieces. Selain itu bahan bakunya yang tadinya kami ambil di
Surabaya, sekarang kami ambil dari Genteng," ujarnya.
Melihat kerja keras dua UMKM yang mampu survive saat krisis ekonomi
melanda, Bupati Anas menyampaikan rasa salutnya. "Ini bagus. Mereka
mampu bertahan di tengah melemahnya rupiah atas dolar. Meski harus
disiasati dengan menurunkan jumlah produksi demi menjaga agar tidak ada
pemutusan hubungan kerja (PHK). Saya berharap UMKM semacam ini bisa
terus ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya," harap bupati. (Humas
Protokol)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar