Video = https://www.youtube.com/watch?v=M_F2he5iZ2o
Di desa ini warga memiliki tradisi keboan, sebuah ritual adat permohonan kepada Tuhan agar sawah masyarakat subur dan panen berlangsung sukses. Di ritus ini yang dilakukan setiap bulan Suro-penanggalan Jawa sejumlah petani kerasukan roh gaib dan bertingkah layaknyaKerbau disimbolkan sebagai mitra petani di sawah untuk menghalau malapetaka selama musim tanam hingga panen. ”Keboan sejak lama telah menjadi bagian dari hidup dan kehidupan masyarakat lokal Banyuwangi. Kerbau bukan ternak pada umumnya yang dikonsumsi dagingnya. Tapi kerbau adalah mitra petani untuk menggarap sawah dan berupaya mendapatkan kemakmuran,” tutur Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas saat menghadiri Festival Kebo-keboan, di Balai Desa Aliyan, Minggu (18/10).
Ritual keboan ini diawali dengan kenduri desa yang digelar sehari sebelumnya. Warga bergotong royong mendirikan sejumlah gapura dari janur yang digantungi hasil bumi di sepanjang jalan desa sebagai perlambang kesuburan dan kesejahteraan.
Esok paginya, warga pun menggelar selamatan di empat penjuru desa, yang dilanjutkan dengan ider bumi. Para petani yang didandani kerbau lalu berkeliling desa mengikuti empat penjuru mata angin. Saat berkeliling desa inilah, para "kerbau" itu melakukan ritual layaknya siklus bercocok tanam, mulai dari membajak sawah, mengairi, hingga menabur benih padi.
Para petani itu diyakini kerasukan roh gaib. Mereka berjalan seperti kerbau yang sedang membajak sawah. Mereka juga berkubang, bergumul di lumpur, dan bergulung-gulung di sepanjang jalan yang dilewati. Saat berjalan pun di pundak mereka terpasang peralatan membajak. Persis kerbau!
“Warga yang menjadi kerbau di ritual adat ini tidak bisa mengelak karena dipilih langsung oleh roh gaib leluhur. Apabila terpilih maka tindak tanduk mereka akan persis seperti kerbau, keluarga pun harus terus mendampingi selama prosesi agar kebo-keboan ini tidak mengamuk,” kata Sigit Purnomo, Kepala Desa Aliyan.
Di Desa Aliyan sendiri terdapat dua dusun yang secara turun temurun mempertahankan tradisi Kebo-keboan. Yakni di Dusun Aliyan dan Dusun Sukodono. Meski proses ritualnya sama dan digelar pada hari yang sama, namun kedua dusun ini tidak bisa melakukan prosesi secara bersamaan. Sebab jika kebo-keboan di dua desa ini saling bertemu maka akan saling serang. “Dari jaman dulu sudah seperti itu. Makanya pelaksanaan ritual di bedakan waktunya dan jalur ider bumi yang dilewati oleh kebo-keboan juga berbeda ,” imbuh Sigit.
Menurut sejarahnya, Buyut Wongso Kenongo, pendiri cikal bakal Desa Aliyan, sekitar abad 18 mendapatkan wangsit untuk melakukan ritual tolak bala kebo-keboan agar mayarakat desa terhindar malapetaka serta hasil yang melimpah. Buyut Wongso Kenongo memiliki dua putra yakni Buyut Pekik dan Buyut Turi. Buyut Pekik menjadi leluhur masyarakat Desa Aliyan, sementara Buyut Turi menjadi leluhur Dusun Sukodono, Desa Aliyan. Warga beda keturunan ini hingga sekarang tidak bisa akur dalam segala hal.
Anas menambahkan akan berkomitmen terus berupaya menjada tradisi yang berkembang dalam masyarakat. “Tradisi semacam tak boleh lekang dengan perkembangan jaman. Selain sebagai warisan budaya leluhur kita, ini juga sebagai salah satu cara warga desa bisa guyub, warga bisa saling gotong royong,” kata Anas.
Tradisi Kebo-keboan sejak tahun 2014 ini telah masuk dalam agenda Banyuwangi Festival yang merupakan agenda pariwisata daerah yang berisi beragam acara wisata. “Dengan masuk Banyuwangi Festival, secara tidak langsung memaksa kami untuk bisa menampilkan suatu atraksi budaya lokal yang berkelas. Misal dengan perbaikan manajemen acara. Ini sebagai upaya kami agar budaya lokal terus membumi, selain tentunya rakyat pun bisa bangga,” kata Anas.
Sekedar diketahui, tradisi kebo-keboan di Banyuwangi berkembang di dua desa. Selain keboan di Desa Aliyan Rogojampi, tradisi keo-keboan juga ditemui di Desa Alasmalang, Singojuruh. (Humas Protokol)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar