Petilasan Prabu Tawang Alun berada di
kawasan “Rowo Bayu”, Kecamatan Songgon. Rowo dalam bahasa Indonesia
berarti “Rawa” sedangkan Bayu itu sendiri diambil dari nama desa “Bayu”,
Rowo Bayu (Rawa di desa Bayu) begitulah penduduk sekitar menyebut
kawasan yang dianggap sakral ini. Sebuah
bangunan candi nampak kokoh berdiri di atas bukit yang mana menurut juru
kunci wisata sejarah Rowo Bayu disebut “Candi Puncak Agung Macan Putih”
Video=https://www.youtube.com/watch?v=FyArfaGu2oo&list=UUepNWDWf_cjykU8PXZbbFwg
yang didirikan untuk menghormati roh para leluhur yang telah berjasa dalam mempertahankan tanah Blambangan dalam perang Puputan Bayu tahun 1771.
Video=https://www.youtube.com/watch?v=FyArfaGu2oo&list=UUepNWDWf_cjykU8PXZbbFwg
yang didirikan untuk menghormati roh para leluhur yang telah berjasa dalam mempertahankan tanah Blambangan dalam perang Puputan Bayu tahun 1771.
Selanjutnya jika kita menelusuri jalan
jalan setapak, maka kita akan menemui bangunan wisata sejarah situs Batu
Suci Petilasan Prabu Tawang Alun dimana di sekitar bangunan tersebut
terdapat sumber mata yang diyakini sebagai mata air suci diantaranya
adalah sumber mata air “Kamulyan”, sumber mata air “Dewi Gangga”, dan
sumber mata air “Pancoran Suwelas” yang airnya mengalir menuju telaga
utama.
Pada bukit pertama saat kita masuk area
Rowo Bayu akan dapat kita temui satu pohon yang amat besar nan eksotis
yang merupakan gabungan dari pohon Beringin dan pohon Apak dimana
terdapat sebuah rongga mirip goa di tengah nya. Apabila kita masuk dan
melihat ke atas, maka gabungan 2 (dua) pohon tersebut menghasilkan
rongga tinggi mirip sebuah sumur dengan lilitan akarnya yang ibarat
ornamen-ornamen alam. Telaga nan jernih diantara bukit dan hutan yang
rimbun penuh pohon besar mengentalkan aroma mistis di kawasan ini. Konon
menurut mitos yang berkembang di masyarakat sekitar, pada malam-malam
tertentu telaga Bayu dijadikan tempat untuk mandi para bidadari.
Kecamatan Songgon menjadi tempat Pertempuran Bayu (Perang Puputan Bayu) antara prajurit Kerajaan Blambangan pimpinan Pangeran Jagapati melawan pasukan gabungan VOC.[1] Puncak pertempuran yang terjadi pada 18 Desember 1773 akhirnya diperingati sebagai Hari Jadi Banyuwangi (Harjaba) dan di Desa Bayu di bangun tetenger (monumen) Perang Puputan Bayu.[2][3] Selain itu, setiap tahun diadakan napak tilas Perang Puputan Bayu.[4]