Acara ritual kebo-keboan di Dusun Sukodono Desa Aliyan Kecamatan
Rogojampi berlangsung meriah. Festival Kebo-keboan digelar di Kabupaten Banyuwangi, Minggu (2/10).
Festival ini menandakan budaya agraris yang kental di Banyuwangi. Selama
ini, Banyuwangi dikenal sebagai salah satu lumbung padi Jatim di mana
kabupaten itu selalu mengalami surplus sekitar 250.000 ton beras setiap
tahunnya.
Kebo-keboan adalah sebuah ritual masyarakat lokal, di mana sejumlah
orang didandani seperti kerbau dan seluruh tubuhnya dilumuri jelaga
hitam. Kebo dalam bahasa setempat berarti kerbau.
Ritual ini adalah bentuk tradisi permohonan kepada Tuhan agar sawah
masyarakat subur dan panen berlangsung sukses. Dalam ritus itu, sejumlah
orang didandani seperti kerbau yang merupakan simbolisasi mitra petani
di sawah untuk menghalau malapetaka selama musim tanam hingga panen.
”Kebo-keboan sejak lama telah menjadi bagian dari hidup dan kehidupan
masyarakat lokal Banyuwangi. Kerbau bukan ternak pada umumnya yang
dikonsumsi dagingnya. Tapi kerbau adalah mitra petani untuk menggarap
sawah dan berupaya mendapatkan kemakmuran,” tutur Bupati Banyuwangi
Abdullah Azwar Anas saat menghadiri Festival Kebo-keboan.
Di Banyuwangi, kebo-keboan digelar di dua tempat dalam satu hari yang
sama, yaitu Desa Aliyan dan Desa Alas Malang. Konon, ritual Kebo-keboan
yang digelar setiap 10 Muharram itu muncul sekitar abad ke-18 Masehi.
Saat itu, masyarakat setempat dilanda pageblug (wabah). Salah seorang
sesepuh desa saat itu, Buyut Karti, pun melakukan ritual selamatan dan
menganjurkan warga desa membajak sawah menggunakan kerbau. Dan pageblug
pun hilang.
Ritual kebo-keboan ini diawali dengan kenduri desa yang digelar
sehari sebelumnya. Warga bergotong royong mendirikan sejumlah gapura
dari janur yang digantungi hasil bumi di sepanjang jalan desa sebagai
perlambang kesuburan dan kesejahteraan.
Esok paginya, warga pun menggelar selamatan di empat penjuru desa,
yang dilanjutkan dengan ider bumi. Para petani yang didandani kerbau
lalu berkeliling desa mengikuti empat penjuru mata angin. Saat
berkeliling desa inilah, para "kerbau" itu melakukan ritual layaknya
siklus bercocok tanam, mulai dari membajak sawah, mengairi, hingga
menabur benih padi.
Para petani itu diyakini kerasukan roh gaib. Mereka berjalan seperti
kerbau yang sedang membajak sawah. Mereka juga berkubang, bergumul di
lumpur, dan bergulung-gulung di sepannjang jalan yang dilewati. Saat
berjalan pun di pundak mereka terpasang peralatan membajak. Persis
kerbau!
Atraksi ritual kebo-keboan ini sangat menarik warga. Bukan sekadar
melihat atraksi, sejumlah warga yang datang ke lokasi untuk mendapatkan
berkah dari benih padi yang sengaja ditebarkan.
Seperti yang dilakukan Mbah Sapurat (56 tahun) yang saat itu berebut
benih padi di Desa Aliyan yang tercecer di jalan meski harus berjuang
melawan “kerbau”. “Tiap tahun saya pasti ikut berebut benih padi yang
ditebar di acara ini untuk saya tanam lagi di sawah. Dan Alhamdulillah,
panen saya pun hasilnya juga bagus dan melimpah,” ujar Sapurat.
Tradisi Kebo-keboan sejak tahun 2014 ini telah masuk dalam agenda
Banyuwangi Festival yang merupakan agenda pariwisata daerah yang berisi
beragam acara wisata. “Dengan masuk Banyuwangi Festival, secara tidak
langsung memaksa kami untuk bisa menampilkan suatu atraksi budaya lokal
yang berkelas. Misal dengan perbaikan manajemen acara. Ini sebagai upaya
kami agar budaya lokal terus membumi, selain tentunya rakyat pun bisa
bangga,” pungkas Anas.
Festival Kebo-keboan, imbuh Plt Kepala Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Banyuwangi Yanuar Bramuda, juga menjadi bentuk pelestarian
budaya agraris masyarakat. "Di Banyuwangi banyak model agrotourism yang
memadukan pertanian dan wisata. Misalnya, wisatawan bisa meminta paket
wisata ikut menanam padi di sawah, atau ikut melihat pemetikan kopi
hingga cara menggorengnya," pungkas Bramuda. (Humas Protokol)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar